13 May, 2024

Kritisi Legislatif Jabar Pendidikan Gratis Masih Sebatas Slogan

Indofakta.com, 2024-04-27 20:00:52 WIB

Bagikan:

ADHIKARYA PARLEMEN

Baca juga: Harapan Pengembangan Pesantren Tumbuhkan Kegiatan Keagamaan

BANDUNG–  hingga saat ini masih muncul polemik seputar uang sumbangan sekolah SMA negeri di Jawa Barat sudah menjadi problem serius sejak lama ditengah masyarakat. Setiap penerimaan siswa baru, tidak sedikit orang tua yang mengeluhkan uang sumbangan ini, pasalnya nominal yang harus dibayarkan terbilang begitu besar.

Baca juga: Rata-Rata Lama Sekolah Pengaruhi Indeks Pembangunan Manusia Jabar

Praktek ini masih terus ada, dan sepertinya sudah menjadi keharusan ditengah gembar gembornya semboyan sekolah gratis yang digaungkan oleh pemerintah.

Baca juga: Legislatif Jabar Ungkap Manfaat Perda Ekonomi Kreatif


Mengingat beberapa bulan lagi jelang penerimaan siswa baru, Anggota Komisi V DPRD Jabar Heri Ukasah, mendorong Disdik Jabar untuk menegur sekolah-sekolah dibawah kewenangan provinsi yang masih membahas tentang uang sumbangan.

Baca juga: Kritisi Legislatif Jabar Untuk Pengelolaan Sumber Daya Mineral

“Ini masih belum sejalan dengan slogan dan upaya pendidikan gratis. Sebelum PSB tahun ini dimulai, Disdik harus memberikan pemahaman kembali atas peran komite, sehingga tidak menimbulkan persoalan,” Jelas  Heri Ukasah,

Polemik ini , jelas Heri terus berlanjut pada setiap tahunnya, dikarenakan memang dana pendidikan di Jawa Barat masih belum cukup untuk memenuhi operasional di setiap sekolah.

Dengan jumlah total 852 sekolah negeri di bawah kewenangan Pemprov Jabar, dana pendidikan yang ada masih belum mencukupi untuk kebutuhan pendidikan.

Mengutip hasil perhitungan dari Dewan Pendidikan Jabar, biaya operasional sekolah membutuhkan anggaran setara Rp 6 juta untuk satu anak per tahunnya. Jika dibandingkan dengan anggaran yang ada, perhitungan nominalnya BOPD itu hanya cukup untuk mengcover biaya Rp 2 juta bagi setiap siswa per tahunnya. Artinya, ada selisih sekitar Rp 4 juta untuk setiap siswa per tahunnya buat anggaran BOPD. 
“Ini yang kemudian diwujudkan melalui uang sumbangan segala macam dari pihak sekolah. Selisih angka ini, menunjukan kalau anggaran pendidikan di Jawa Barat belum mampu memenuhi keinginan sekolah gratis ini," kata Heri.

Heri, dalam keterangannya mengatakan kurangnya anggaran memunculkan praktek iuran dengan nama sumbangan sekolah yang dibebankan kepada orang tua siswa.

Kondisi ini,  menjadi masalah lantaran hanya menambal sulam di tengah semboyan pemerintah dalam program sekolah gratis.

"Itu yang jadi sumber masalah. Maka dalam perjalanannya, sekolah akan melakukan upaya untuk menutupi kekurangan biaya operasional itu,” ungkapnya.

Sehubungan dengan masih adanya polemik biaya pendidikan yang jadi beban orang tua,  Pemprov Jabar melalui Dinas Pendidikan diminta untuk mengkaji ulang mengenai skema pembiayaan pendidikan sekolah berstatus negeri yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Sementara itu, untuk pihak  sekolah diminta untuk lebih transparan dalam pengelolaan anggarannya, termasuk disampaikan kepada orang tua.

"Perlu dilakukan semacam pengkajian kembali terkait pembiayaan pendidikan. Kalau untuk sekolah apalagi yang negeri, mereka tentu harus transparan. Karena bagaimanapun juga anggaran yang diterima sekolah itu semua dari negara," katanya.

Di sisi lain , untuk polemik komite sekolah, Heri Ukasah berpandangan bahwa masih ada komite yang belum paham dalam menjalankan regulasi sesuai Pergub Jabar Nomor 44 Tahun 2022 tentang Komite Sekolah.

Komite sekolah seharusnya bertugas sebagai lembaga independen dalam penyelenggaraan pendidikan. Mereka harus bisa menampung aspirasi dari para orang tua siswa yang berbentuk masukan hingga kritik untuk sekolah.

"Tapi yang saya ketahui di banyak sekolah, independensi komite ini malah dipertanyakan. Rata-rata komite hanya jadi stempel yang pada praktiknya menuruti kemauan dari sekolah tersebut," ujarnya.

Komite layaknya lembaga DPRD, sambung Heri yang menjalankan tugas pengawasan di pemerintah. Sehingga, komite harus bisa menampung aspirasi dari para orang tua siswa untuk ditindaklanjuti pihak sekolah.

“Kenyataannya, komite malah gagal paham dalam menjalankan fungsinya itu. Alih-alih diharapkan menjadi lembaga independen, komite malah seolah menjadi corong suara kebijakan dari sekolah,” ujar Heri(adv)

Bagikan:

© 2024 Copyright: Indofakta Online