Penyelesaian perkara berbasis keadilan restoratif diterapkan, menciptakan solusi damai dan humanis.Baca juga: Judi Ketangkasan Tembak Ikan di Komplek Kota Baru Titipapan Medan Deli Diduga Masih BeroperasiJakarta -- Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, menyetujui empat permohonan penyelesaian perkara melalui mekanisme
Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Kamis, 28 November 2024. Salah satu perkara yang diselesaikan adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Kasus KDRT di Kabupaten Sanggau
Baca juga: Otak Pelaku Begal Yang Serang Anggota TNI Diringkus Polsek SunggalPerkara ini melibatkan tersangka Yunus alias Afung, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Peristiwa bermula pada 14 September 2024, ketika tersangka pulang ke rumahnya di Dusun Hilir, Kecamatan Balai, Kabupaten Sanggau. Setelah terjadi konflik dengan istrinya, Ira, tersangka melakukan tindakan kekerasan fisik yang mengakibatkan luka serius pada korban, termasuk robek di bibir, memar di wajah, dan benjolan di pundak kiri, sebagaimana dibuktikan oleh visum.Kejadian ini dilaporkan oleh keluarga korban ke Polsek Batang Tarang, yang kemudian mengamankan tersangka untuk menjalani proses hukum.
Proses Restorative Justice: Perdamaian dan Kesepakatan
Baca juga: Rakerda Maluku, Kajati Agoes SP Minta Jajarannya Mendukung Produktifitas Percepatan Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan BerkelanjutanDalam proses mediasi yang difasilitasi oleh Kejaksaan Negeri Sanggau, tersangka mengakui kesalahannya, menyesali perbuatannya, dan meminta maaf kepada korban. Korban menerima permohonan maaf tersebut dan mengusulkan agar proses hukum terhadap tersangka dihentikan. Berdasarkan kesepakatan damai, Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau mengajukan permohonan penghentian penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, yang akhirnya disetujui oleh JAM-Pidum.
Perkara Lain yang Diselesaikan dengan Restorative Justice
Baca juga: Mantan Rektor ISBI Setuju Bangunan Galeri Demolish Jadi Atensi Kejari Kota BandungSelain perkara KDRT di Sanggau, JAM-Pidum juga menyetujui penyelesaian tiga perkara lainnya melalui mekanisme restorative justice, yakni:
- Tersangka Ripki Septiana alias Ule alias Acil dari Kejaksaan Negeri Sukabumi, terkait Pasal 363 Ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUHP tentang Pencurian.
- Tersangka Retendra Johnbetri alias Ten dari Kejaksaan Negeri Solok, terkait Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
- Tersangka Aulia Adi Putra alias Willi dari Kejaksaan Negeri Solok, terkait Pasal 351 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP tentang Penganiayaan.
Alasan Penerapan Restorative Justice
Penerapan mekanisme ini dilakukan berdasarkan pertimbangan humanis, termasuk:
- Telah tercapainya perdamaian secara sukarela antara tersangka dan korban.
- Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan tindak pidana.
- Ancaman pidana di bawah lima tahun.
- Tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
- Proses perdamaian dilakukan tanpa tekanan atau intimidasi.
- Pertimbangan sosiologis dan respons positif dari masyarakat.
JAM-Pidum: Penegasan Prosedur dan Hukum
Prof. Dr. Asep Nana Mulyana menegaskan pentingnya penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan keadilan restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020. “Ini adalah wujud kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat,” ujarnya.Dengan keberhasilan ini, Kejaksaan Agung semakin menunjukkan komitmennya dalam menciptakan solusi hukum yang berkeadilan dan berorientasi pada kemanusiaan. (Muzer)
Bagikan: