Rantai Distribusi yang Panjang dan Biaya Produksi Tinggi, Membebani Petani Indonesia Meski Harga Beras Melonjak; Solusi SPI dan Ahli Agribisnis IPB Menawarkan Perbaikan dalam Pengelolaan dan Teknologi PertanianBaca juga: Rapat Pleno LSM PAKAR Pastikan Tetap solid Pendukungan Terhadap Bobby - Surya Pimpin SumutJakarta -- Serikat Petani Indonesia (SPI) menyoroti permasalahan mendasar yang dihadapi petani Indonesia, yaitu biaya produksi yang tinggi dan rantai distribusi beras yang terlalu panjang. Meskipun harga beras di Indonesia termasuk yang paling mahal di Asia Tenggara, pendapatan petani justru sangat rendah. Hal ini semakin memperparah kesenjangan antara harga pasar beras dan kesejahteraan petani di tingkat akar rumput.
Baca juga: Upacara HUT Ke-79 TNI Di Kodam III/Slw Diikuti Forkopimda JabarKetua Departemen Luar Negeri SPI, Arifin Zainal Fuad, menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama rendahnya pendapatan petani adalah tingginya biaya produksi, terutama akibat permasalahan yang berkaitan dengan pupuk. Selain itu, rantai distribusi beras yang melibatkan tengkulak, penggilingan, distributor, hingga pedagang, mempersulit petani untuk mendapatkan keuntungan yang layak.
Distribusi Beras yang Panjang: Dampak pada Harga dan Pendapatan Petani
Baca juga: Perjalanan TNI dari Masa Perjuangan Kemerdekaan hingga Kesiapan Menghadapi Perang Siber: Sebuah Transformasi Adaptif di Tengah Ancaman GlobalDalam sebuah wawancara dengan RRI Pro 3, Arifin mengungkapkan bahwa banyak petani yang tidak mendapatkan harga gabah yang wajar, apalagi harga beras. “Petani sering kali dipaksa menjual gabah dengan harga rendah karena mereka meminjam uang dari tengkulak, dengan janji akan melunasi pinjaman menggunakan gabah yang harganya sudah dipatok sebelumnya,” ungkapnya. Dari sini, rantai distribusi berlanjut dari tengkulak ke penggilingan, kemudian ke distributor, dan berakhir di tangan pedagang beras di pasar induk sebelum sampai ke konsumen.SPI menyarankan agar pemerintah, baik pusat maupun daerah, membantu petani dengan memberikan akses terhadap fasilitas penggilingan beras sendiri. Dengan adanya penggilingan yang dikelola oleh kelompok tani, petani dapat memiliki akses langsung ke pasar dan menikmati harga jual yang lebih tinggi di tingkat konsumen, tanpa perlu bergantung pada tengkulak.
Tantangan Pengadaan Pupuk: Beban Tambahan bagi Petani
Baca juga: Prabowo Subianto Siapkan Fondasi Angkatan Siber, Dukung TNI Hadapi Perang Dunia Maya dan Tantangan Teknologi GlobalSelain masalah distribusi, SPI juga menyoroti masalah klasik yang tak kunjung selesai terkait ketersediaan pupuk. Menurut Arifin, ketika musim tanam tiba, pupuk sering kali hilang dari pasaran atau dijual dengan harga lebih mahal, semakin membebani petani.
Korporasi Petani: Solusi dari Kementerian Pertanian yang Belum Optimal
Amzul Rifin, Dosen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, menyatakan bahwa salah satu kunci untuk meningkatkan pendapatan petani adalah dengan meningkatkan produktivitas pertanian. Menurutnya, hal ini bisa dicapai dengan penerapan teknologi pertanian modern mulai dari pengolahan lahan, penggunaan bibit unggul, hingga efisiensi dalam penggunaan pupuk. Namun, Amzul menyinggung bahwa konsep 'Korporasi Petani' yang sudah digaungkan Presiden Jokowi sejak lama, belum terwujud secara optimal di lapangan akibat kendala teknis.Korporasi Petani, yang telah diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 18 Tahun 2018, merupakan upaya untuk membantu kelompok tani agar dapat beroperasi secara modern dengan manajemen yang lebih baik. Program ini dirancang agar petani mendapatkan akses terhadap teknologi dan cara produksi yang lebih efisien, dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan mereka secara signifikan.
Ironi Harga Beras yang Mahal dan Pendapatan Petani yang Minim
Sementara itu, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa harga beras di Indonesia 20 persen lebih mahal dibandingkan dengan harga beras di pasar global. Bahkan, harga beras di Indonesia disebut-sebut sebagai yang tertinggi di kawasan ASEAN. Namun ironisnya, pendapatan rata-rata petani di Indonesia justru sangat rendah.Berdasarkan Survei Pertanian Terpadu yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan rata-rata petani kecil di Indonesia kurang dari 1 dollar AS per hari, atau sekitar Rp15.199. Jika dihitung per tahun, rata-rata petani hanya menghasilkan sekitar Rp5,2 juta atau 341 dollar AS. Jumlah ini jauh di bawah standar pendapatan yang layak, mengingat harga beras yang terus melonjak.
Masa Depan Pertanian Indonesia: Tantangan dan Harapan
Melihat kondisi ini, SPI dan para ahli pertanian seperti Amzul Rifin sepakat bahwa reformasi mendasar dalam sektor pertanian Indonesia harus segera dilakukan. Mulai dari penyediaan pupuk yang lebih terjangkau dan tepat waktu, hingga pemberdayaan kelompok tani melalui program seperti korporasi petani, semua bertujuan agar petani Indonesia dapat memperoleh pendapatan yang lebih layak.Dengan demikian, diharapkan ke depan, petani Indonesia dapat benar-benar menikmati keuntungan dari harga beras yang tinggi dan kesejahteraan mereka pun ikut meningkat. (Az)
Bagikan: