14 Nov, 2024

RPJPD JABAR 2025-2045

Indofakta.com, 2024-09-09 21:04:29 WIB

Bagikan:

Oleh :Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jabar

Baca juga: Linguistik Forensik Sebagai Instrumen Dalam Penegakan Hukum

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) merupakan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang untuk 20 tahun ke depan. Dokumen yang sudah disahkan menjadi Peraturan Daerah itu berfungsi sebagai instrumen untuk mengarahkan, mengkoordinasikan, mengendalikan, dan mendorong proses pembangunan. Selain itu, RPJPD juga merupakan antisipasi ketidakpastian masa depan.

Baca juga: Ketersediaan Sarana Prasarana di Kawasan Wisata Pengaruhi Kepuasan Wisatawan

RPJPD Jabar disusun dengan jangkauan tahun 2025-2045. Sebagai peraturan daerah, tentu saja dokumen tersebut disusun dengan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun (RPJPN) 2025-2045. Jadi, jangkauan RPJPD Jabar sudah disesuaikan dengan RPJPN.

Baca juga: Tatkala Sang Motivator Berikan Motivasi Pelajar Madrasah Aliyah Negeri 2 Garut

Adapun tujuan RPJPN adalah untuk mencapai Visi Indonesia Emas 2045, yaitu "Mewujudkan Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan".

Baca juga: Talang Plastik di Rumah Pak AR

RPJPD Jabar yang terdiri dari VI Bab 8 Pasal itu juga akan menjadi pedoman dalam penyusunan Rencana Jangka Panjang Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan dokumen perencanaan pembangunan lainnya. Tentu saja, RPJPD Jabar juga akan menjadi pedoman dalam penyusunan RPJPD kabupaten/kota di Jabar.

Di dalam RPJPD Provinsi Jawa Barat Tahun 2025-2045, Visi Jabar 2045 dicantumkan: "Provinsi Jawa Barat Termaju, Berdaya Saing Dunia, dan Berkelanjutan".

Banyak aspek ditinjau untuk penyempurnaan sebuah RPJPD. Perda RPJPD harus memperhatikan isu strategis seputar geografi dan demografi, isu nasional, regional Jawa Bali, aspek kesejahteraan masyarakat, aspek daya saing daerah, dan aspek pelayanan umum.

Selain itu, harus dilihat pula evaluasi RPJPD Jabar (lama) yang tertuang dalam Perda Nomor 22 Tahun 2010. Belum lagi tren demografi dan kebutuhan sarana-prasarana pelayanan publik dan pengembangan pusat pertumbuhan wilayah.

Tentu saja arah kebijakan dan sasaran pokok pembangunan daerah harus pula tertuang dalam Perda RPJPD baru tersebut. Hal yang tidak kalah penting dan harus dimuat adalah seputar pelaksanaan, pembiayaan, dan proses pelaksanaan manajemen risiko.

Jika melihat angka-angka yang tertera sebagai target dalam 45 indikator kinerja utama (IKU) yang ditetapkan, ada hal-hal yang harus lebih cermat dalam mengimplemantasikannya. Angka-angka terget yang ditetapkan harus pula dikomunikasikan dengan kabupaten/kota karena target Provinsi Jabar merupakan target akumulasi dari 27 kabupaten/kota yang ada.

Apakah target yang ditetapkan sudah realistis? Tentu evaluasi capaian, minimal, lima tahun belakangan menjadi bekal yang sangat berarti. Namun, sekali lagi, semua angka teget tersebut harus dokomukasikan dan dikoordinasikan dengan kabupaten/kota.

Jika melihat kebijakan yang diharapkan sejalan di semua tingkatan, dari pusat sampai ke provinsi dan kabupaten/kota, tampaknya ada kesamaan hasil akhir yang ingin diraih. Tentu saja hal itu dilakukan bukan tanpa alasan. Dengan demikian, sasaran bersama itu diharapkan menjadi lebih mudah dan cepat terealisasi.

Pertanyaannya, bolehkah daerah melakukan diskresi? Jika boleh, sampai sejauh mana batasan toleransi yang akan diberikan oleh Pusat?

Apakah daerah diperkenankan menyisipkan kearifan lokal di dalam RPJPD? Belum lagi pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) akan sangat berpengaruh pada kemampuan fiskal daerah. Kondisi tersebut pasti berpengaruh pada volume APBD di provinsi/kabupaten/kota.

Pemberlakuan UU HKPD sangat berpengaruh pada besaran persentase dana bagi hasil (DBH). Pemerintah Provinsi Jabar akan mengalami "Turbulensi APBD" jilid II sekitar Rp 6 triliun. Di sisi lain, kabupaten/kota akan "mendapat berkah".

Hal itu akibat dibaliknya besaran persentase DBH. Provinsi yang semula menerima 70% mulai tahun 2025 hanya akan menerima 30% saja. Sementara itu, kabupaten/kota yang semula hanya menerima 30% akan menerima 70%.

Kondisi tersebut pasti sangat berpengaruh pada besaran volume pembiayaan program dan kegiatan di masing-masing tingkat pemerintahan. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Jabar harus mencari sumber pendapatan lain, baik intensifikasi maupun ekstensifikasi. Mampukah? Kita lihat saja seiring berjalannya waktu.(nr)

Bagikan:

© 2024 Copyright: Indofakta Online